Rabu, 26 Januari 2011

Akhwat.........

Suatu ketika, seorang santri putra bertanya pada Ustadznya: Ya Ustadz, Ceritakan Kepadaku Tentang Akhwat Sejati…
Sang Ustadz pun tersenyum dan menjawab…Akhwat Sejati bukanlah dilihat dari sekedar jilbabnya yang lebar, tetapi dari bagaimana ia menjaga pandangan mata (ghudhul bashar), sikap, akhlak, kehormatan dan kemurnian islamnya….
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari kelembutan suaranya, tetapi dari lantangnya ia mengatakan kebenaran di hadapan laki2 bukan mahramnya…..
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari banyaknya jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya dengan anak2nya, keluarga dekatnya, para jama’ah, para tetangga dan orang2 di sekitarnya.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari bagaimana ia dihormati di tempat ia bekerja tetapi bagaimana ia dihormati di dalam rumah tangganya…
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari bagaimana ia pintar berhias dan memasak masakan yang enak2, tapi bagaimana ia bisa faham dan mengerti selera dan variasi makan suami dan anak2nya yang sebenarnya tidak rewel, pintar mengatur cash flow finansial keluarga, mengerti bagaimana berpenampilan menarik di hadapan suami dan selalu merasa cukup (qonaah) dengan segala pemberian dari sang suami di saat lapang maupun di saat sempit.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari wajahnya yang cantik, tetapi dari bagaimana ia bermurah senyum dan sejuk jika dilihat di hadapan suaminya dengan sepenuh hati tanpa dibuat2/dipaksakan.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari banyaknya ikhwan yang mencoba berta’aruf kepadanya, tetapi dari komitmennya untuk mengatakan bahwa sesungguhnya “Tidak ada kata “CINTA sebelum menikah.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari gelar sabuk hitam dalam olahraga beladirinya, tetapi dari sabarnya ia menghadapi lika-liku kehidupan…
Akhwat Sejati bukanlah dilihat dari sekedar banyaknya ia menghafal Al-Quran, tetapi dari pemahaman ia atas apa yang ia baca/hafal untuk kemudian ia amalkan dalam kehidupan sehari2.
….setelah itu, Si Murid kembali bertanya…


“Adakah Akhwat yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ya Ustadz ?”
Sang Ustadz kembali tersenyum dan berkata: “Akhwat seperti itu ada, tapi langka.
Sekalipun ada, biasanya ia memiliki karakter khas antara lain; Sangat mencintai Allah dan RasulNya melebihi apapun, tidak lepas dari dunia da’wah (minimal di lingkungan sekitar tempat tinggalnya), hidup berjamaah tapi tidak dikenal ‘ashobiyah, tidak ingin dikenal-kecuali diminta/didesak oleh jama’ah (masyarakat), dari keturunan orang2 yang shalih/shalihat, berasal dari lingkungan yang sangat terpelihara, punya amalan ibadah harian, mingguan dan bulanan di atas rata2 orang kebanyakan, hidupnya sederhana namun tetap menarik dan bermanfaat buat orang lain, dikenal sebagai tetangga yang baik hati, sangat berbakti terhadap orang tua, sangat hormat kepada yang lebih tua dan sangat sayang terhadap yang lebih muda, sangat disiplin dengan sholat fardunya, rajin shaum sunnah dan qiyamullail & atau bisa jadi amalan ibadah terbaiknya disembunyikan dari mata orang2 yang mengenalnya, rajin memperbaiki istighfarnya (taubatan nashuha), rajin mendoakan saudara2nya terutama yang sedang dalam keadaan kesulitan atau sedang terdzolimi secara terang2an/tersembunyi, rajin bersilaturahim, rajin menuntut ilmu-mengaji- (terutama yang syar’i)/minimal rajin hadir di majlis ilmu dan mendengarkannya, senantiasa menambah/memperbaiki ilmunya dan menyampaikan semua ilmu yang ia ketahui setelah terlebih dahulu ia mengamalkannya, rajin membaca/menghafal alqur’an atau hadits dan buku2 yang bermanfaat, pintar/kuat hafalannya, sangat selektif soal makanan/minuman yang ia konsumsi, sangat perhatian terhadap kebersihan dan sangat disiplin sekali soal thaharah, sangat terjaga dari soal2 ikhtilat apalagi berkhalwat, jauh dari gosip-menggosip, lisan dan semua perbuatannya senantiasa terjaga dari hal2 yang sia2, zuhud, istiqomah, tegar, tidak takut/bersedih hati hingga berlarut2 melainkan sebentar (wajar), pandai menghibur dan pandai menutupi aib/kekurangan dirinya dan orang2 yang ia kenal, mudah memaafkan kesalahan/kekeliruan orang lain tanpa diminta dan tanpa dendam, ringan tangan untuk membantu sesama, mudah berinfak (bershadaqah), ikhlas, jauh dari riya, ujub, muhabahat, takabur dan tidak emosional, cukup sensitif tapi tidak terlalu sensitif (tidak mudah tersinggung), selalu berbuat ihsan dan muraqobatullah (selalu merasa dekat dan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT baik di saat ramai maupun di saat sendirian), selalu berhusnudzon kepada setiap orang, benar2 berkarakter jujur (shiddiiq), amanah dan selalu menyampaikan yang haq dengan caranya yang terbaik (tabligh), pantang mengeluh/berkeluh kesah, sangat dewasa dalam menyikapi problematika kehidupan, mandiri, selalu optimis, terlihat selalu gembira dan menentramkan, hari2nya tidak lepas dari perhitungan (muhasabah) bahwa hari ini selalu ia usahakan lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini, dan senantiasa pandai bersyukur atas segala ni’mat (takdir baik) serta senantiasa sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan (takdir buruk) dalam segala keadaan. Kapan pun dan di manapun..
Si Murid rupa2nya masih penasaran, dan bertanya kembali kepada Sang Ustadz. “Ya Ustadz, adakah cara yang paling mudah untuk mendapatkannya? atau minimal bisa mendapatkan seorang Akhwat yang mendekati profil Akhwat Sejati??
Sang Ustadz pun dengan bijak segera menjawabnya: “Ada, jika antum ingin mendapatkan Akhwat Sejati nan benar2 Shalihat sebagai teman hidup maka SHALIHKAN DAHULU DIRI ANTUM…!! karena InsyaAllah Akhwat yang shalihat adalah pada dasarnya juga untuk Ikhwan yang shaalih…

Sabtu, 22 Januari 2011

Antara ta'aruf dan khitbah

Banyak pertanyaan mengenai Taaruf dengan Khitbah. Pada prinsipnya keduanya dibedakan dalam hal materi pembicaraan yang di lakukan. Adakah kalimat-kalimat yang dimaksudkan untuk mernyatakan maksud untuk menikahi, baik yang bersifat eksplisit (terbuka) maupun yang bersifat implisti (sindiran). Kalau baru sekedar ziarah atau berkunjung, tanpa menyentuh sama sekali materi tentang keinginan untuk mengawini/menikahi tentu saja tidak bisa dikatakan khitbah. Dan secara syar'i, wanita tersebut masih sangat dimungkinkan untuk menerima khitbah dari laki-laki lain. Namun bila sudah menyampaikan maksud dan keinginan untuk menikahi, lalu orang tuanya juga memberikan pernyataan persetujuannya atas lamaran anda, barulah wanita itu menjadi makhtubah (sudah dalam posisi dilamar), sehingga tidak boleh baginya menerima lagi lamaran dari pihak lain tanpa seizin dari anda. Adapun kebesertaan orang tua (dari pihak laki-laki) dalam masalah lamaran sama sekali tidak menjadi bagian syarat untuk sebuah lamaran. Bahkan hingga nanti akad nikah sekalipun, sebenarnya tidak ada keharusan bagi orang tua (dari pihak laki-laki) untuk hadir. Sebab yang dibutuhkan adalah dalam sebuah lamaran dan akad nikah adalah wali dari pihak wanita. Semua itu kalau kita bicara dari sudut pandang syariah. Adapun kalau kita melihat dari sudut pandang kebiasaan, 'urf atau kelayakan yang umumnya berlaku,itu sebuah kewajaran bila datang bersama dengan kedua orang tua atau sanak famili terdekat. tentu akan sangat layak. Sebab secara tidak langsung akan menunjukkan keseriusan dari pihak keluarga. Untuk lebih jelasnya silakan baca buku kisah sejati "Menikah Dalam 27 Hari" karya Muhammad Adzdzikra

Hukum Berjabat tangan dengan bukan muhrim

Al-'Imran ayat 19: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." Al-Qalam 52: "Dan Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat."
Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain :

1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menegaskan :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ


“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.

Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”.
2. Hadits Ma’qil bin Yasar radhyiallahu ‘anhu :

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HSR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa hal.123).

Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.

Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy (Az-Zawajir 2/4) bahwa : “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.

3. Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :

إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HSR. Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain.

Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.)

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243 : “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya”.

4. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata :

وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan“.

Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.

Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60) : “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan”.

Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’

10 jawaban kepada saudariku untuk segera berhijab!

'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu.' (Q.S. an-Nisa:59)

'Orang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.' (H.R. At Thabrani)


Bahwa seorang mukmin dapat mengenali kekurangannya dari mukmin lainnya, sehingga ia laksana cermin bagi dirinya.

Islam juga menganjurkan dan mengajak penganutnya agar sebagian mereka mencintai sebagian yang lain, dimana diantaranya engkau berharap agar saudaramu masuk Surga dan dijauhkan dari api Neraka. Tak sebatas mengharap, namun berupaya keras dan maksimal menyediakan berbagai sarana dari hal-hal yang membahayakan dan merugikannya, di dunia maupun di akhirat kelak. 

Allah Subhaanahu wa Ta'ala, dalam Q.S. Al Ahzab : 59 berfirman :
'Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.'
 
'Katakanlah kepada wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.' (Q.S. An Nur : 31)

Dalam perjalanan hidup saya, saya mendapati beberapa alasan yang senantiasa terulang ketika ajakan untuk berhijab dikumandangkan. Oleh karenanya, semoga risalah ini dapat bermanfa'at bagi saudariku sekalian, dan memperteguh mereka yang masih ragu-ragu dalam menunaikan kewajiban utama muslimah ini. Alasan-alasan yang sering saya temui antara lain :

1. Tubuh ini adalah ciptaan Allah, dan keindahannya bukan untuk ditutupi, melainkan diperlihatkan.

Saudariku, begitu banyak nikmat yang diberikan Allah kepada kita, baik yang kita tidak sadari hingga yang terlihat di depan mata kita. Cara mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah SWT, yang menciptakan diri kita adalah dengan beribadah menurut tuntunanNya, dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada segala ketentuan dan aturanNya. Karena ketidakpatuhan kita akan menjebak kita ke dalam perangkap penolakan/pembangkangan atas Rabb kita.

Berfirman Allah SWT dalam Q.S Al Baqarah : 216,
'Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.'

Pernahkah kita bayangkan manakala Allah mencabut nikmat kecantikan yang dititipkan kepada kita? Pernahkah kita sadari bahwa kecantikan itu adalah ujian dari Allah, sejauh mana ia bersyukur atas kecantikannya itu? Pernahkan kita renungi manakala Allah meminta pertanggungjawaban dari nikmat kecantikan yang telah dianugerahkanNya, sementara kita menggunakannya tidak berlandaskan syari'at Allah?

Dan jika engkau menjawab, 'Kecantikah itu untuk diperlihatkan, bukan untuk ditutupi, maka kembali kita perlu bertanya :

Relakah engkau kecantikanmu dinikmati oleh orang yang dekat dan yang jauh darimu?

Relakah engkau menjadi objek yang dilihat, bagi semua orang, yang jahat maupun yang terhormat?

Bagaimana engkau bisa menyelamatkan dirimu dari mata para pria?
Maukah kamu jika dirimu dihargai serendah itu, sementara engkau bisa menjadi seorang wanita yang mulia di mata Allah SWT?

2. Aku takut dijauhi teman-teman, dikeluarkan dari kerjaan (kehilangan mata pencaharian), dan mendapat posisi yang rendah.

Saudariku, rizki ada di tangan Allah. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini telah diberikan kadar rizkinya, tinggal apakah kita mau menjemputnya ataukah tidak.

Telah banyak terjadi di sekitar kita cerita-cerita nyata kegigihan mereka pada prinsipnya, yang seharusnya semakin memperkuat keyakinan kita semua, bahwa rizki bukan ditangan manajemen kantor, namun berada di tangan Allah. Kekayaan yang kita miliki hari ini, kemuliaan di hadapan manusia yang kita rasakan dapat dengan hilang dengan amat segera, manakala Allah mencabutnya.

Berfirman Allah SWT dalam Q.S. Ali 'Imran : 26,
'Katakanlah: 'Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.'

Dan ingatlah bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya yang berusaha bertaqwa dan istiqomah berpegang teguh memperjuangkan prinsip keislamannya. Ingatlah firman Allah SWT dalam Q.S. Ali 'Imran : 195

'Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.'

Dalam ayat lain, Allah melanjutkan,
'Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.' (Q.S. Al A'raaf : 170)

'Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.' (Q.S. Hud : 115)

Adapun ketakutan dijauhi teman-teman, adalah ketakutan yang seharusnya tidak terjadi. Karena seorang mukmin seharusnya menjadi tenang dan tentram dengan Allah bersamanya. Tidak ada lagi yang dia dambakan kecuali kedekatan dan kecintaan Allah padanya.

3. Saya senantiasa menjaga amalan ibadah saya yang lain kok, kecuali hijab, saya belum mampu untuk memakainya.

Saudariku, kalau memang Anda sudah melakukan amalan-amalan terpuji, yang berpangkal dari iman, dan kepatuhan pada perintah Allah, serta takut siksaanNya jika meninggalkan kewajiban itu, mengapa Anda beriman kepada sebagian dan tidak beriman kepada sebagian yang lain, padahal sumber perintah itu hanya satu?

Sebagaimana shalat yang selalu Anda jaga adalah sebuah kewajiban, maka hijab pun demikian. Kewajiban mengenakan hijab tidak diragukan dalam Al Qur'an dan As Sunnah.

Berfirman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah:85 ketika mencerca Bani Israil :
'Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat pedih. Allah tidak lengah atas apa yang kamu perbuat'.

Padahal ............... digambarkan oleh Rasulullah SAW,
'Sesungguhnya penghuni Neraka yang paling ringan adzabnya pada hari Kiamat adalah orang yang diletakkan kedua telapak kakinya dua bara api, dari dua bara api ini otaknya mendidih, sebagaimana periuk yang mendidih dalam bejana besar yang dipanggang dalam kobaran api.' (H.R. Bukhari)

Jika seperti itu adzab yang paling ringan di hari Kiamat, maka bagaimana adzab bagi orang yang diancam Allah dengan adzab yang pedih, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, yang beriman kepada sebagian, dan meninggalkan sebagian yang lain?

4. Saya belum siap berperilaku dan berakhlak sebagaimana muslimah yang berjilbab. Yang berjilbab saja perilakunya tidak sesuai dengan jilbabnya.

Saudariku, kewajiban harus diutamakan diatas segalanya.

Berfirman Allah SWT, dalam kumpulan kalam Ilahinya, Q.S. Al Baqarah : 208,
'Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.'

Tunaikanlah kewajibanmu dahulu kepada Penciptamu, dan kemudian secara perlahan memperbaiki segala akhlak buruk yang masih sulit engkau tinggalkan. Apakah engkau tidak sadar, dengan semakin lamanya engkau tunda berhijab, maka sedemikian menumpuklah dosa besar yang terus menggunung, yang harus dibalas dengan siksaan Allah, kuatkah engkau menjalaninya? Dosa yang terus mengalir dari hari ke hari, semakin memperberat timbangan dosa kita. Segeralah kita menuju jalan Allah.

Sementara bagi mereka yang telah berhijab, namun perilakunya tidak sesuai dengan hijabnya, maka berprasangka baiklah, bahwa minimal ia telah menunaikan tugasnya sebagai hamba Allah, dalam hal menutup auratnya, sedangkan engkau masih enggan menjalaninya. Adapun sifat kurang baiknya adalah tugas kita bersama untuk memperbaikinya, dengan nasihat-nasihat yang baik, dan ikhlas, karena boleh jadi ia belum mengetahui ilmunya, sementara ia baru mendapatkan ilmu wajibnya berhijab, dan ia segera menunaikannya.

Adapun kesiapan diri, maka sifatnya amatlah abstrak. Tidak ada parameter pasti yang mampu mengukur tingkat kesiapan seseorang, kecuali kalimat Sami'na wa Atho'na, sebagai implementasi Laa Ilaaha Illa Allah (Tidak ada yang lebih aku cintai kecuali Allah semata, hidupku hanyalah untuk Allah, Yang Menciptakanku, dan kepadaNya kelak aku akan kembali.

Saudariku, harus bisa kita bedakan antara perintah manusia dan perintah Tuhan. Perintah manusia bisa salah dan benar. Imam Malik r.a. pernah berkata, 'Setiap orang bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan) orang yang ada di dalam kuburan ini (Rasulullah)'.

Jika perintah itu datang dari Allah di dalam kitabNya, atau melalui NabiNya, maka tidak ada bagi manusia untuk mengatakan 'saya belum mantap', padahal Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita, dan salah satu sebab tercapainya kebahagiaan kita.

Padahal Allah menyukai orang-orang yang berkata, 'Sami'na wa atho'na, ghufronaka rabbanaa wa ilaykal mashiir (Q.S. Al Baqarah:285)', (Kami dengar dan kami segera ta'at, ampuni kami ya Allah, kepadaMulah tempat kembali kami), dan padahal Allah membenci orang-orang yang berkata, 'Sami'na wa 'ashoina (Q.S. Al Baqarah:93/Q.S. Annisa:46)', (Kami dengar tapi kami tidak mena'atinya).

Alangkah hinanya kita ketika kita tidak menuruti keinginan Yang Menciptakan kita. Sementara ucapan 'Aku belum mantap' adalah ucapan yang berbahaya, karena bermakna ia meragukan kebenaran perintah tersebut, dan bermakna ia tidak mencintai Penciptanya, Rabbul 'Alamin.

Berfirman Allah SWT dalam Q.S. Al Ahzab : 36 :
'Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menerapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.'

Begitu kerasnya Allah berfirman dalam ayat diatas, apakah kita tidak takut dimasukkan Allah dalam golongan orang-orang yang sesat?

5. Saya belum dapat hidayah. Do'akanlah aku agar segera mendapat hidayah.

Saudariku, hidayah tidak datang dengan sendirinya. Hidayah membutuhkan pencaharian. Dan bagaimanakah engkau mengetahui bahwa Allah belum memberimu hidayah? Apakah engkau mengetahui sesuatu yang ghaib yang ada dalam kitab yang tersembunyi (Al Lauh Al Mahfuzh), ataukah engkau mendapatkan bisikan dari golongan jin atau manusia?

Telah berfirman Allah SWT dalam Q.S. Muhammad:17,
'Dan orang-orang yang meminta petunjuk, Allah (akan) menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.'

Ingatlah bahwa dalam hidayah, terdapat campur tangan dan usaha manusia, maka ikutilah petunjuk Allah agar engkau semakin dekat dengan hidayah Allah. Carilah sebab-sebab untuk mendapatkannya.

Berfirman Allah SWT dalam Q.S. Ar Ra'd:11,
'Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.'

Fahamilah sunnatullah.

Wahai saudariku, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya akan engkau dapatkan dengan izin Allah. Banyaklah berdo'a kepada Allah, pilihlah teman yang shalihah, banyaklah membaca, pelajari dan renungilah Kitab Allah, ikutilah majelis-majelis dzikir dan ceramah-ceramah agama, dengarkanlah kaset-kaset pengajian, dan bacalah buku-buku tentang keimanan. Di sisi lain, hendaklah engkau terlebih dahulu meninggalkan hal-hal yang bisa menjauhkan dirimu dari datangnya hidayah, seperti teman yang tidak baik, bacaan-bacaan yang tidak bermanfa'at, tayangan-tayangan televisi yang buruk, dan hal-hal lainnya.

6. Insya Allah saya akan berhijab setelah menikah kelak.

Saudariku, bagaimana mungkin engkau dapat memastikan sesuatu yang engkau pun belum yakin apakah usiamu sampai hingga menikah kelak ataukah tidak. Bagaimanakah jika engkau telah dipanggil Allah dalam keadaan belum berhijab? Tidakkah engkau takut mati dalam keadaan masih tidak beriman pada sebuah kewajiban Allah yang amat mendasar bagi seorang muslimah?

Bagaimana ketika hari ini kita telah berniat berbuat sebuah kebaikan yang kita telah tahu ilmunya, namun kita tunda karena beberapa alasan, namun ternyata di kemudian hari, usia kita tidak sampai merealisasikannya, karena Allah telah mencabut nyawa kita, maka bagaimana kita mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak? Kenapa kita menundanya? Kemana usia kita kita gunakan di dunia? Sejauh mana cinta kita pada Allah dan RasulNya?

Saudariku, kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sakit, tidak pula orang yang lanjut usia saja, tetapi juga orang-orang yang sehat wal afiat, orang dewasa, pemudi, bahwa sampai bayi yang masih menyusu pada ibunya. Banyak contoh yang dapat kita ambil dari kejadian di sekitar kita.

Dalam Kitaabun Nikah, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits Rasulullaah SAW,
'Wanita itu dinikahi karena empat hal. Yaitu karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang berpegang teguh dengan agama, (jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu.'

Wanita yang shalihah untuk pria yang shalihah.

Boleh jadi, wanita yang terbiasa memperlihatkan kecantikan tubuhnya -- yang dimaksudkan untuk menawan hati pria -- malah membuat para pemuda enggan menikahinya, karena beranggapan, jika wanita tersebut berani melanggar salah satu perintah Allah, yaitu hijab, tidak menutup kemungkinan dia akan berani melanggar perintah-perintah yang lain. Karena syaithan memiliki banyak langkah.

7. Sesungguhnya iman itu ada di hati, dan juga Allah Maha Tahu kalaupun nanti saya telah berniat untuk berhijab.

Saudariku, benar yang telah engkau katakan bahwa iman berada di dalam hati, sebagaimana sabda Rasulullaah SAW, 'Taqwa itu ada disini, seraya menunjuk ke arah dadanya.' (H.R. Muslim)

Namun jangan sampai salah dalam mengartikan hadits di atas. Penulis kitab Nuzhatul Muttaqin berkata, 'Hadits ini menunjukkan pahala amal tergantung keikhlasan hati, kelurusan niat, perhatian terhadap situasi hati, kebenaran tujuan, dan kebersihan hati dari segala sifat tercela yang dimurkai Allah.'

Bahwa Rasulullah SAW tidak memaksudkan bahwa iman tidak akan sempurna kecuali hanya di dalam hati saja, tetapi amal perbuatan tetap harus diperlihatkan kepada Allah, sementara hati adalah benteng terakhir selamatnya perbuatan kita.

Bahwa telah sepakat jumhur ulama bahwa, 'Keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan.'

Dan akan lebih jelas lagi ketika kita menemukan firman Allah dalam Q.S. al-Ankabut:1-3,
'Alif Laam Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta.'

8. Saya sangat ingin berhijab, tapi suami saya lebih suka dengan keindahan rambut saya ketika tidak berhijab, lebih cantik katanya.

Saudariku, ketaatan kepada Allah harus didahulukan daripada ketaatan kepada makhluk, siapapun dia. Setelah ketaatan kepada Allah, kedua orang tua lebih berhak untuk ditaati dari yang lainnya, selama itu bukan dalam kemaksiatan.

Bersabda Rasulullah SAW,
'Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam kebaikan.' (H.R. Bukhari dan Muslim)

'Dan tidak boleh taat kepada makhluk dengan mendurhakai (bermaksiat) kepada al-Khaliq.' (H.R. Ahmad)

Harus disadari bahwa halangan yang dihadapi merupakan ujian bagi setiap hamba, karena memang meraih Surga tidaklah semudah meraih Neraka.

Bagi sang suami, harus ada seseorang yang mampu menasihatinya agar bertaqwa kepada Allah dalam urusan keluarganya. Dan hendaknya ia bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kepadanya isteri yang ingin menerapkan salah satu perintah Allah, yakni memakai pakaian sesuai ketentuan syari'at, sehingga menjaga keselamatan dirinya dari fitnah. Dan mengingatkan dia sebuah kalam Ilahi dalam Q.S. At Tahrim:6, 'Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.'

Ayat diatas mendapat penegasan pula dari Rasulullah SAW, dalam haditsnya,
'Seseorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.' (H.R. Bukhari)

Sehingga patutkan bagi seorang suami untuk memaksakan kehendaknya agar sang isteri tidak menutup auratnya dengan sempurna sebagaimana mestinya?

Adapun bagi isteri, tetaplah untuk tidak menaati suami dalam kemaksiatan terhadap Allah, sampai kapanpun. Dan dalam tataran teknis, perhatikanlah adab sopan santun dan cara-cara yang hikmah dalam menyampaikannya kepada suami, bisa secara mesra, dan lemah lembut, dan tidak menggunakan kalimat-kalimat yang memancing emosi ataupun amarah, dan terkesan menggurui. Dan tetaplah tabah dan sabar menghadapi celaan, ejekan, dan hinaan, dan tidak boleh menyebabkan hubungan dengan suami menjadi retak. Hendaklah selalu meminta pertolongan Allah agar diberi keteguhan dalam prinsip, kemudahan dan jalan keluar dari kesulitan ini, kemudian meminta pertolongan sanak kerabat, dan kawan-kawan dekat suami. Senantiasalah membalas segala keburukan dengan kebaikan, dan pilihlah saat-saat yang tepat untuk dialog, dan sadarilah sekali lagi bahwa jalan ke Surga memang penuh dengan onak dan duri, dan tidak akan diberikan Allah kecuali setelah melewati kepayahan, kerja keras, dan tabah menanggung segala rintangan dan hambatan di jalan Allah.

9. Kata orang tua saya, tidak berhijab lebih baik. Dan saya yakin orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya.

Saudariku, benar bahwa orang tua pasti selalu menginginkan yang terbaik buat anak puterinya. Namun, harus kita fahami, bahwa orang tua kita berpendapat akan sesuatu amat dilandasi oleh pemahamannya. Terkait masalah jilbab, amat boleh jadi, orang tua kita belum mendapatkan ilmunya, sejak kecilnya. Maka tugas kitalah secara perlahan-lahan menyadarkan orang tua kita, dan melakukan lobi-lobi internal, agar akhirnya menjadikan orang tua kita pendukung sejati niat kita untuk berhijab, dan bahkan mengikuti anaknya dalam berhijab. Subhanallah.

Nabi kita, Rasulullah SAW pernah bersabda,
'Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan ditanya tentang yang dipimpinnya ....' (H.R. Bukhari)

Seorang ayah adalah pemimpin dalam rumah tangga, dan akan ditanya Allah di hari Kiamat tentang orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya. Hendaknya seorang ayah bertanya pada dirinya sendiri :
- Berapa banyak pemuda yang telah tergoda oleh puterinya?
- Seberapa jauh puterinya telah menyebabkan penyimpangan para pemuda?
- Berapa banyak hinaan yang dilontarkan para pemuda kepadanya?

Semoga Allah senantiasa mengisi hati kita dengan cahayaNya yang tidak pernah padam, dan memenangkan kita dalam pertarungan kita melawan kejahatan syaithan, jin, dan manusia. Memerdekakan diri kita dari tawanan hawa nafsu, menuju alam kebebasan, kemuliaan, kehormatan, dan ketenangan, dan alam kesucian.

10. Hijab hanyalah kebudayaan orang Arab, dan hijab tidak sesuai dengan mode masa kini.

Saudariku, memang benar bahwa kebanyakan budak wanita di masa Rasulullah tidak berhijab, dan sebagian dari hartawan di kalangan wanita mengenakan hijab. Tapi kita harus fahami sebuah kejadian menarik di Madinah ketika Surah Al Ahzab:59 diturunkan, dimana terjadi Peristiwa yang amat menghebohkan di Madinah. Kedua setelah MIRAS. Apakah itu? Bagaimana 10 tahun awal da'wah Rasulullaah di Makkah Al Mukarramah tidak pernah menyinggung masalah syari'at. Beliau hanya menekankan pada masalah tauhid dan aqidah. Karena memperkuat penyerahan diri manusia atas Penciptanya adalah yang paling utama.

Membina keikhlasan dan kesungguhan (mujahadah) dalam mengusung kalimat 'Laa ilaaha illallaah wa Muhammad Rasul Allah' adalah sebuah keniscayaan. Sehingga kita lihat bersama, bagaimana setelah keimanan umat Islam di Madinah telah begitu kokohnya, dan begitu pasrahnya mereka akan aturan Allah, dan begitu cintanya mereka pada Rasul Allah, ketika turun ayat Al Qur'an yang memerintahkan kaum wanita untuk mengenakan kerudung hingga ke dadanya, dan tidak memperlihatkan auratnya kepada laki-laki, pamannya, dll, (sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an), dan ketika berita ini sampai ke telinga mereka, maka prinsip mereka hanya satu, yakni SAMI'NA wa ATHO'NA, kami dengar dan kami segera ta'at.

Seluruh pasar-pasar di madinah, seluruh tempat-tempat di madinah menjadi riuh, karena para wanitanya yang saat itu sebagian besar tidak berkerudung, berlari ke sana kemari mencari segala sesuatu yang bisa menutupi rambut mereka, seperti goni, gorden rumah, dll. Subhanallaah, begitulah kita lihat bersama bagaimana mereka benar-benar hanya mengharapkan kebaikan di akhirat yang kekal abadi saja.

Dan ingatlah bahwa ayat itu tidak diturunkan khusus untuk orang Arab, tapi kalimatnya ditujukan untuk seluruh wanita-wanita mukmin, wanita-wanita yang benar-benar beriman kepada Penciptanya.

Saudariku sekalian, demikian 10 Jawaban yang saya susun, tiada lain kecuali berharap mengetuk pintu kesadaran saudariku sekalian untuk kembali kepada tuntunan suci Al Qur'an dan As Sunnah, agar jalan hidup kita menjadi lurus, dan mendapatkan kebaikan hidup baik di dunia maupun kehidupan akhirat kelak yang tidak memiliki batasan akhir kehidupan (kekal abadi). Apakah kita kekal dalam kebahagiaan, atau kekal dalam siksanya Allah, seluruhnya terpulang pada diri kita masing-masing. Tidak ada seorangpun yang berhak memaksa orang lain untuk berpaling dari keyakinannya, hanya kewajiban menyeru ke jalan Allah lah yang wajib ditunaikan.

Berfirman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah : 272,
'Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya'.

Oleh karenanya, janganlah kita termasuk kepada golongan orang-orang yang mengunci mati hati mereka dari datangnya petunjuk, menutup rapat-rapat telinga kita, sehingga hidayah semakin jauh dari kita. Bersegeralah menuju ridhonya Allah, di hari-hari hidup kita yang masih tersisa ini.